Vol. 4 No. 1 (2016)
Pemantauan dan Pencegahan Penularan Virus Zika di Indonesia
Dewa Nyoman WirawanOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Pemantauan dan Pencegahan Penularan Virus Zika di Indonesia
Sama halnya dengan Virus Dengue dan Virus Chikungunya, Virus Zika juga ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Karena populasi nyamuk Aedes aegypti sangat tinggi di Bali serta wilayah lain di Indonesia, maka penularan Virus Zika di Bali/Indonesia bisa dipastikan juga akan terjadi sama halnya dengan negara lain seperti Vietnam, Thailand dan Singapura. Karena itu, melakukan pencegahan penularan dari luar negeri ke Bali/Indonesia dengan memantau suhu tubuh di bandara pada orang-orang yang datang dari luar negeri tidak cukup untuk mencegah penularan karena sebagian besar orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (tidak demam), tetapi bisa menularkan virus di Bali/Indonesia. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penularan di Bali/Indonesia, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah pemantauan atau surveilans. Surveilans bisa dilakukan secara paralel dengan surveilans Demam Berdarah Dengue yang telah dilaksanakan selama ini. Untuk menetapkan terjadinya infeksi Virus Zika, diperlukan pemeriksaan laboratorium. Upaya lainnya adalah meningkatkan awareness kepada masyarakat dan petugas kesehatan terhadap adanya kemungkinan penularan Virus Zika di Bali/Indonesia. Kepada petugas kesehatan perlu diberikan pemahaman bahwa bila dijumpai adanya infeksi Virus Zika maka diperlukan konseling yang memadai kepada pasien untuk tidak melakukan hubungan seks atau memakai kondom dengan istri/suaminya atau pasangan seksualnya selama 60 hari guna mencegah terjadinya penularan melalui seksual. Sama halnya dengan pencegahan penularan infeksi Virus Dengue, pemantauan jentik nyamuk Aedes aegypti dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) amat perlu ditingkatkan.
Pemantauan dan Pencegahan Penularan Virus Zika di Indonesia
Sama halnya dengan Virus Dengue dan Virus Chikungunya, Virus Zika juga ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Karena populasi nyamuk Aedes aegypti sangat tinggi di Bali serta wilayah lain di Indonesia, maka penularan Virus Zika di Bali/Indonesia bisa dipastikan juga akan terjadi sama halnya dengan negara lain seperti Vietnam, Thailand dan Singapura. Karena itu, melakukan pencegahan penularan dari luar negeri ke Bali/Indonesia dengan memantau suhu tubuh di bandara pada orang-orang yang datang dari luar negeri tidak cukup untuk mencegah penularan karena sebagian besar orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (tidak demam), tetapi bisa menularkan virus di Bali/Indonesia. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penularan di Bali/Indonesia, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah pemantauan atau surveilans. Surveilans bisa dilakukan secara paralel dengan surveilans Demam Berdarah Dengue yang telah dilaksanakan selama ini. Untuk menetapkan terjadinya infeksi Virus Zika, diperlukan pemeriksaan laboratorium. Upaya lainnya adalah meningkatkan awareness kepada masyarakat dan petugas kesehatan terhadap adanya kemungkinan penularan Virus Zika di Bali/Indonesia. Kepada petugas kesehatan perlu diberikan pemahaman bahwa bila dijumpai adanya infeksi Virus Zika maka diperlukan konseling yang memadai kepada pasien untuk tidak melakukan hubungan seks atau memakai kondom dengan istri/suaminya atau pasangan seksualnya selama 60 hari guna mencegah terjadinya penularan melalui seksual. Sama halnya dengan pencegahan penularan infeksi Virus Dengue, pemantauan jentik nyamuk Aedes aegypti dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) amat perlu ditingkatkan.
Negosiasi dan Determinan Pemakaian Kondom oleh Pekerja Seks di Kota Denpasar
Putu Sukma Megaputri, Anak Agung Sagung Sawitri, Dewa Nyoman WirawanOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Negosiasi dan Determinan Pemakaian Kondom oleh Pekerja Seks di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Hasil Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) Tahun 2011 menunjukkan bahwa penggunaan kondom pada pelanggan wanita pekerja seks langsung (WPSL) masih rendah. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan negosiasi yang kurang oleh WPSL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi negosiasi dan determinan penggunaan kondom oleh WPSL di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei cross sectional pada WPSL dengan sampel sebanyak 100 orang dipilih secara cluster random sampling di beberapa lokasi di Kota Denpasar. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner tentang: karakteristik sosial demografi, faktor internal dan eksternal, negosiasi dan pemakaian kondom. Pertanyaan tentang negosiasi kondom menggunakan modifikasi condom influence strategy questionnaire (CISQ) yang dikembangkan oleh Noar. Data dianalisis secara bivariat dengan uji chi square dan multivariat  dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 87% pelanggan dilaporkan oleh WPSL menggunakan kondom saat hubungan seks terakhir dan 63% selalu menggunakan kondom dalam satu minggu terakhir. Sebanyak 37% pelanggan membawa kondom ketika datang ke lokasi dan 58% WPSL melaporkan bahwa mereka melakukan negosiasi kondom. Dari 63% pelanggan yang tidak membawa kondom sebanyak 92,1% akhirnya memakai kondom setelah dilakukan negosiasi. Strategi negosiasi yang digunakan oleh WPSL adalah permintaan langsung, hubungan saling percaya, informasi risiko dan “penipuanâ€. Faktor yang signifikan berhubungan dengan pemakaian kondom adalah umur WPSL (AOR=4,1; 95%CI: 1,32-12,4) ketersediaan kondom (AOR=8,8; 95%CI: 2,8-27,7) dan negosiasi kondom (AOR=3,9; 95%CI: 1,4-10,8).
Simpulan: Strategi negosiasi yang paling banyak digunakan adalah permintaan langsung WPSL kepada pelanggannya. Faktor yang signifikan berhubungan dengan penggunaan kondom adalah umur, ketersediaan dan negosiasi kondom.Negosiasi dan Determinan Pemakaian Kondom oleh Pekerja Seks di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Hasil Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) Tahun 2011 menunjukkan bahwa penggunaan kondom pada pelanggan wanita pekerja seks langsung (WPSL) masih rendah. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan negosiasi yang kurang oleh WPSL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi negosiasi dan determinan penggunaan kondom oleh WPSL di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei cross sectional pada WPSL dengan sampel sebanyak 100 orang dipilih secara cluster random sampling di beberapa lokasi di Kota Denpasar. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner tentang: karakteristik sosial demografi, faktor internal dan eksternal, negosiasi dan pemakaian kondom. Pertanyaan tentang negosiasi kondom menggunakan modifikasi condom influence strategy questionnaire (CISQ) yang dikembangkan oleh Noar. Data dianalisis secara bivariat dengan uji chi square dan multivariat  dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 87% pelanggan dilaporkan oleh WPSL menggunakan kondom saat hubungan seks terakhir dan 63% selalu menggunakan kondom dalam satu minggu terakhir. Sebanyak 37% pelanggan membawa kondom ketika datang ke lokasi dan 58% WPSL melaporkan bahwa mereka melakukan negosiasi kondom. Dari 63% pelanggan yang tidak membawa kondom sebanyak 92,1% akhirnya memakai kondom setelah dilakukan negosiasi. Strategi negosiasi yang digunakan oleh WPSL adalah permintaan langsung, hubungan saling percaya, informasi risiko dan “penipuanâ€. Faktor yang signifikan berhubungan dengan pemakaian kondom adalah umur WPSL (AOR=4,1; 95%CI: 1,32-12,4) ketersediaan kondom (AOR=8,8; 95%CI: 2,8-27,7) dan negosiasi kondom (AOR=3,9; 95%CI: 1,4-10,8).
Simpulan: Strategi negosiasi yang paling banyak digunakan adalah permintaan langsung WPSL kepada pelanggannya. Faktor yang signifikan berhubungan dengan penggunaan kondom adalah umur, ketersediaan dan negosiasi kondom.Sexual Role dan Riwayat Infeksi Menular Seksual Sebagai Risiko Serokonversi HIV pada Laki Seks dengan Laki yang Berkunjung di Klinik Bali Medika Badung, Bali
Ni Putu Diwyami, Anak Agung Sagung Sawitri, Dewa Nyoman WirawanOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Sexual Role dan Riwayat Infeksi Menular Seksual Sebagai Risiko Serokonversi HIV pada Laki Seks dengan Laki yang Berkunjung di Klinik Bali Medika Badung, Bali
Latar belakang dan tujuan: Di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi HIV pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dari 5% di tahun 2007 menjadi 12% di tahun 2011. Perilaku seksual berisiko dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya serokonversi HIV, namun informasi tersebut belum banyak tersedia pada LSL di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko serokonversi HIV pada LSL.
Metode: Penelitian case control dilakukan menggunakan data kohor LSL yang melakukan tes HIV berulang di Klinik Bali Medika, Kuta, Kabupetan Badung, Provinsi Bali tahun 2011-2015. Serokonversi HIV didefinisikan pada LSL yang masih memiliki status HIV negatif di awal pengamatan dan mengalami perubahan status menjadi positif pada kunjungan tes berikutnya. Analisis data dilakukan dengan Kaplan Meier dan metode regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 50% kohor LSL mengalami serokonversi setelah 458 hari atau 1,2 tahun (IQR=224-699). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya serokonversi HIV adalah riwayat IMS berulang dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=8,33 (95%CI: 77-89,81); pernah 1 kali mengalami IMS dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=1,91 (95%CI: 1,15-3,83); perilaku peran seks reseptif dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=3,45 (95%CI: 1,68-7,11); dan perilaku peran seks versatil dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=2,37 (95%CI: 1,09-5,13).
Simpulan: Riwayat IMS serta perilaku sexual role reseptif dan versatil dijumpai sebagai faktor risiko terjadinya serokonversi HIV pada LSL.
Sexual Role dan Riwayat Infeksi Menular Seksual Sebagai Risiko Serokonversi HIV pada Laki Seks dengan Laki yang Berkunjung di Klinik Bali Medika Badung, Bali
Latar belakang dan tujuan: Di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi HIV pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dari 5% di tahun 2007 menjadi 12% di tahun 2011. Perilaku seksual berisiko dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya serokonversi HIV, namun informasi tersebut belum banyak tersedia pada LSL di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko serokonversi HIV pada LSL.
Metode: Penelitian case control dilakukan menggunakan data kohor LSL yang melakukan tes HIV berulang di Klinik Bali Medika, Kuta, Kabupetan Badung, Provinsi Bali tahun 2011-2015. Serokonversi HIV didefinisikan pada LSL yang masih memiliki status HIV negatif di awal pengamatan dan mengalami perubahan status menjadi positif pada kunjungan tes berikutnya. Analisis data dilakukan dengan Kaplan Meier dan metode regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 50% kohor LSL mengalami serokonversi setelah 458 hari atau 1,2 tahun (IQR=224-699). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya serokonversi HIV adalah riwayat IMS berulang dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=8,33 (95%CI: 77-89,81); pernah 1 kali mengalami IMS dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=1,91 (95%CI: 1,15-3,83); perilaku peran seks reseptif dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=3,45 (95%CI: 1,68-7,11); dan perilaku peran seks versatil dalam 6 bulan terakhir dengan AOR=2,37 (95%CI: 1,09-5,13).
Simpulan: Riwayat IMS serta perilaku sexual role reseptif dan versatil dijumpai sebagai faktor risiko terjadinya serokonversi HIV pada LSL.
Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar: Studi Kasus Kontrol
Ni Luh Putu Karminiasih, I Wayan Gede Artawan Eka Putra, Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Ida Bagus Ngurah Rai, I Nyoman Mangku KarmayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar: Studi Kasus Kontrol
Latar belakang dan tujuan: Kekambuhan pasien tuberculosis paru (TB) adalah salah satu masalah dalam program penanggulangan TB. Kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar tahun 2014 dilaporkan masih cukup tinggi yaitu 3,5% dari 1082 pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kekambuhan pasien TB di Kota Denpasar.
Metode: Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan 46 penderita TB paru kambuh yang berusia di atas 15 tahun sebagai kasus dan 92 penderita TB paru yang sembuh sebagai kontrol. Responden dipilih secara acak sistematik dari register TB 03 tahun 2013-2015 di 11 puskesmas Kota Denpasar. Data dikumpulkan dengan penelusuran dokumen, observasi, pengukuran dan wawancara di rumah responden. Data dianalisis secara bivariat (uji chi square) dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko kekambuhan TB adalah adanya penyakit penyerta DM (AOR=9,6; 95%CI: 2,17-43,08), ketidakpatuhan minum obat (AOR=7,6; 95%CI: 2,85-20,17), merokok/terpajan asap rokok saat pengobatan (AOR=3,6; 95%CI: 1,41-9,16), ventilasi rumah <10% (AOR=3,4; 95%CI: 1,27-9,47), kontak serumah dengan penderita TB (AOR=3,1; (95%CI: 1,31-7,46) dan status gizi kurang (AOR=2,8; 95%CI: 1,02-7,72).
Simpulan: Faktor risiko kekambuhan pasien TB paru adalah adanya penyakit penyerta DM, ketidakpatuhan minum obat, merokok/terpajan asap rokok saat pengobatan, ventilasi rumah <10%, ada kontak serumah dengan penderita TB dan status gizi kurang.
Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota Denpasar: Studi Kasus Kontrol
Latar belakang dan tujuan: Kekambuhan pasien tuberculosis paru (TB) adalah salah satu masalah dalam program penanggulangan TB. Kekambuhan pasien TB paru di Kota Denpasar tahun 2014 dilaporkan masih cukup tinggi yaitu 3,5% dari 1082 pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kekambuhan pasien TB di Kota Denpasar.
Metode: Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan 46 penderita TB paru kambuh yang berusia di atas 15 tahun sebagai kasus dan 92 penderita TB paru yang sembuh sebagai kontrol. Responden dipilih secara acak sistematik dari register TB 03 tahun 2013-2015 di 11 puskesmas Kota Denpasar. Data dikumpulkan dengan penelusuran dokumen, observasi, pengukuran dan wawancara di rumah responden. Data dianalisis secara bivariat (uji chi square) dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko kekambuhan TB adalah adanya penyakit penyerta DM (AOR=9,6; 95%CI: 2,17-43,08), ketidakpatuhan minum obat (AOR=7,6; 95%CI: 2,85-20,17), merokok/terpajan asap rokok saat pengobatan (AOR=3,6; 95%CI: 1,41-9,16), ventilasi rumah <10% (AOR=3,4; 95%CI: 1,27-9,47), kontak serumah dengan penderita TB (AOR=3,1; (95%CI: 1,31-7,46) dan status gizi kurang (AOR=2,8; 95%CI: 1,02-7,72).
Simpulan: Faktor risiko kekambuhan pasien TB paru adalah adanya penyakit penyerta DM, ketidakpatuhan minum obat, merokok/terpajan asap rokok saat pengobatan, ventilasi rumah <10%, ada kontak serumah dengan penderita TB dan status gizi kurang.
Kemitraan Dukun dengan Bidan dalam Pertolongan Persalinan: Studi Kualitatif di Kabupaten Manggarai Timur
Fransiska Nova Nanur, Ni Putu Widarini, I Nyoman Mangku KarmayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Kemitraan Dukun dengan Bidan dalam Pertolongan Persalinan: Studi Kualitatif di Kabupaten Manggarai Timur
Latar belakang dan tujuan: Kemitraan dukun dan bidan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Kemitraan ini belum berjalan dengan baik dimana masih ada dukun yang melakukan pertolongan persalinan secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hambatan dalam pelaksanaan kemitraan dukun dengan bidan di Kabupaten Manggarai Timur.
Metode: Penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara terbuka dilakukan pada 15 partisipan yang dipilih secara purposive, terdiri dari dua bidan desa, lima dukun yang bermitra dengan bidan, tiga dukun yang tidak bermitra dengan bidan, serta dua partisipan tokoh masyarakat, satu tokoh agama, dua ibu nifas dan satu pemegang kebijakan. Data dianalisis dengan pendekatan analisis tematik.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana penunjang kemitraan belum memadai, dana yang disediakan belum cukup untuk membiayai pelaksanaan kemitraan sehingga tidak ada pertemuan rutin antara bidan dan dukun, serta koordinasi yang dilakukan hanya bersifat insidental. Meskipun pembagian peran dalam penanganan persalinan sudah jelas, banyak hambatan yang ditemukan yaitu hambatan transportasi, ekonomi dan masih ada dukun yang tidak mau bermitra.
Simpulan: Kemitraan dukun dengan bidan dalam pertolongan persalinan terkendala oleh masih banyaknya hambatan, baik internal maupun eksternal, diperlukan dana yang cukup, menyediakan sarana transportasi dan penyuluhan kepada masyarakat untuk cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.Kemitraan Dukun dengan Bidan dalam Pertolongan Persalinan: Studi Kualitatif di Kabupaten Manggarai Timur
Latar belakang dan tujuan: Kemitraan dukun dan bidan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Kemitraan ini belum berjalan dengan baik dimana masih ada dukun yang melakukan pertolongan persalinan secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hambatan dalam pelaksanaan kemitraan dukun dengan bidan di Kabupaten Manggarai Timur.
Metode: Penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara terbuka dilakukan pada 15 partisipan yang dipilih secara purposive, terdiri dari dua bidan desa, lima dukun yang bermitra dengan bidan, tiga dukun yang tidak bermitra dengan bidan, serta dua partisipan tokoh masyarakat, satu tokoh agama, dua ibu nifas dan satu pemegang kebijakan. Data dianalisis dengan pendekatan analisis tematik.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana penunjang kemitraan belum memadai, dana yang disediakan belum cukup untuk membiayai pelaksanaan kemitraan sehingga tidak ada pertemuan rutin antara bidan dan dukun, serta koordinasi yang dilakukan hanya bersifat insidental. Meskipun pembagian peran dalam penanganan persalinan sudah jelas, banyak hambatan yang ditemukan yaitu hambatan transportasi, ekonomi dan masih ada dukun yang tidak mau bermitra.
Simpulan: Kemitraan dukun dengan bidan dalam pertolongan persalinan terkendala oleh masih banyaknya hambatan, baik internal maupun eksternal, diperlukan dana yang cukup, menyediakan sarana transportasi dan penyuluhan kepada masyarakat untuk cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Denpasar
Ni Made Septiari Maryani Ardi, I Wayan Gede Artawan Eka Putra, Gede Ngurah Indraguna PinatihOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah meningkatnya prevalensi obesitas termasuk pada anak remaja. Remaja yang mengalami obesitas selain berisiko mengalami penyakit tidak menular juga mempengaruhi tingkat intelegensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa sekolah menengah pertama.
Metode: Penelitian cross sectional dengan jumlah sampel 176 anak yang dipilih secara acak sederhana di sekolah menengah pertama di Denpasar. Data dikumpulkan melalui tes IQ dengan metode Standard Progressive Matrices, pengukuran berat badan dan tinggi badan serta menggunakan kuesioner. Data dianalisis mengunakan Stata secara univariat, bivariat dengan chi-square tes dan multivariat dengan regresi poisson.
Hasil: Rerata umur responden 12,2 tahun dengan rerata skor IQ adalah 105,8. Sebanyak 77 anak (43,7%) dijumpai mengalami obesitas, terdiri dari 48 siswa (62,3%) dan 29 siswi (37,7%). Sebanyak 47 anak (26,7%) dijumpai memiliki IQ di bawah rata-rata, terdiri dari 24 siswa (51,1%) dan 23 siswi (48,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pada anak yang mengalami obesitas sebanyak 55,8% memiliki IQ di bawah rata-rata sedangkan anak dengan status gizi normal hanya 4,0%. Anak yang memiliki IQ di bawah rata-rata sebanyak 4,0% tidak pernah mengalami obesitas; 56,8% mengalami obesitas selama <6 tahun dan 67,5% mengalami obesitas selama >6 tahun. Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang dijumpai signifikan berhubungan dengan tingkat intelegensi adalah status gizi obesitas dengan APR=6,6 (95% CI: 2,0-21,5).
Simpulan: Tingkat intelegensi secara bermakna dijumpai berhubungan dengan status gizi obesitas dan lama mengalami obesitas dimana semakin lama seorang anak mengalami obesitas maka semakin besar peluang untuk memiliki IQ di bawah rata-rata.
Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah meningkatnya prevalensi obesitas termasuk pada anak remaja. Remaja yang mengalami obesitas selain berisiko mengalami penyakit tidak menular juga mempengaruhi tingkat intelegensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa sekolah menengah pertama.
Metode: Penelitian cross sectional dengan jumlah sampel 176 anak yang dipilih secara acak sederhana di sekolah menengah pertama di Denpasar. Data dikumpulkan melalui tes IQ dengan metode Standard Progressive Matrices, pengukuran berat badan dan tinggi badan serta menggunakan kuesioner. Data dianalisis mengunakan Stata secara univariat, bivariat dengan chi-square tes dan multivariat dengan regresi poisson.
Hasil: Rerata umur responden 12,2 tahun dengan rerata skor IQ adalah 105,8. Sebanyak 77 anak (43,7%) dijumpai mengalami obesitas, terdiri dari 48 siswa (62,3%) dan 29 siswi (37,7%). Sebanyak 47 anak (26,7%) dijumpai memiliki IQ di bawah rata-rata, terdiri dari 24 siswa (51,1%) dan 23 siswi (48,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pada anak yang mengalami obesitas sebanyak 55,8% memiliki IQ di bawah rata-rata sedangkan anak dengan status gizi normal hanya 4,0%. Anak yang memiliki IQ di bawah rata-rata sebanyak 4,0% tidak pernah mengalami obesitas; 56,8% mengalami obesitas selama <6 tahun dan 67,5% mengalami obesitas selama >6 tahun. Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang dijumpai signifikan berhubungan dengan tingkat intelegensi adalah status gizi obesitas dengan APR=6,6 (95% CI: 2,0-21,5).
Simpulan: Tingkat intelegensi secara bermakna dijumpai berhubungan dengan status gizi obesitas dan lama mengalami obesitas dimana semakin lama seorang anak mengalami obesitas maka semakin besar peluang untuk memiliki IQ di bawah rata-rata.
Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dan Komitmen Kerja dengan Mutu Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem, Bali
Komang Artini, I Ketut Suarjana, I Putu Ganda WijayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dan Komitmen Kerja dengan Mutu Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem, Bali
Latar belakang dan tujuan: Mutu pelayanan di puskesmas sering menjadi keluhan masyarakat di Kabupaten Karangasem. Temuan awal menunjukkan ada masalah dalam manajemen puskesmas dan kurangnya komitmen petugas puskesmas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara mutu pelayanan pengobatan dengan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas.
Metode: Survei cross sectional dilakukan pada 61 orang dokter dan perawat yang bertugas di 12 poliklinik umum dan dipilih secara purposive. Data dikumpulkan pada Bulan Februari sampai Maret 2015 dengan wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data secara multivariat dilakukan dengan mempergunakan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara mutu pelayanan pengobatan dengan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan, penerapan manajemen dan komitmen kerja masih kurang. Analisis multivariat menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan berhubungan dengan komitmen kerja petugas dengan adjusted OR=11,3 (95%CI: 1,75-73,06), namun tidak berhubungan dengan penerapan manajemen puskesmas dengan adjusted OR=0,9 (95%CI: 0,18-5,24).
Simpulan: Mutu pelayanan pengobatan dijumpai berhubungan dengan komitmen kerja petugas tetapi tidak berhubungan dengan penerapan manajemen puskesmas.
Hubungan Penerapan Manajemen Puskesmas dan Komitmen Kerja dengan Mutu Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem, Bali
Latar belakang dan tujuan: Mutu pelayanan di puskesmas sering menjadi keluhan masyarakat di Kabupaten Karangasem. Temuan awal menunjukkan ada masalah dalam manajemen puskesmas dan kurangnya komitmen petugas puskesmas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara mutu pelayanan pengobatan dengan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas.
Metode: Survei cross sectional dilakukan pada 61 orang dokter dan perawat yang bertugas di 12 poliklinik umum dan dipilih secara purposive. Data dikumpulkan pada Bulan Februari sampai Maret 2015 dengan wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data secara multivariat dilakukan dengan mempergunakan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara mutu pelayanan pengobatan dengan penerapan manajemen puskesmas dan komitmen kerja petugas.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan, penerapan manajemen dan komitmen kerja masih kurang. Analisis multivariat menunjukkan bahwa mutu pelayanan pengobatan berhubungan dengan komitmen kerja petugas dengan adjusted OR=11,3 (95%CI: 1,75-73,06), namun tidak berhubungan dengan penerapan manajemen puskesmas dengan adjusted OR=0,9 (95%CI: 0,18-5,24).
Simpulan: Mutu pelayanan pengobatan dijumpai berhubungan dengan komitmen kerja petugas tetapi tidak berhubungan dengan penerapan manajemen puskesmas.
Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Kota Denpasar
Made Novianita, I Nyoman Sutarsa, I Nyoman AdiputraOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari sebelumnya berorientasi kepada obat menjadi berorientasi kepada pasien menuntut apoteker pengelola apotek (APA) dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang berkualitas, berinteraksi langsung dengan pasien, serta bertanggung jawab terhadap obat yang diberikan. Beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukkan kualitas pelayanan kefarmasian masih di bawah standar dan dipengaruhi oleh kepemilikan apotek, kehadiran, motivasi dan status APA. Penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian belum banyak dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian dan faktor yang mempengaruhinya di apotek di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode survei cross-sectional pada 68 sampel apotek yang dipilih secara acak sistematis dari 214 apotek yang ada di Kota Denpasar. Data dikumpulkan dengan wawancara pada 68 orang APA, pengisian kuesioner oleh pegawai apotek dan observasi untuk mengukur kualitas pelayanan kefarmasian mengacu pada Kepmenkes tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji chi square pada tingkat kemaknaan ≤0,05 dan analisis multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian di bawah rata-rata masih cukup tinggi yaitu 33 apotek (48,5%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian yaitu kehadiran APA, status APA dan kepemilikan apotek. Analisis multivariat menunjukkan bahwa apotek yang dimiliki sendiri secara bermakna meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dengan adjusted OR=7,04 (95%CI: 1,5-33,8).
Simpulan: Kualitas pelayanan kefarmasian berhubungan dengan kepemilikan apotek.
Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari sebelumnya berorientasi kepada obat menjadi berorientasi kepada pasien menuntut apoteker pengelola apotek (APA) dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang berkualitas, berinteraksi langsung dengan pasien, serta bertanggung jawab terhadap obat yang diberikan. Beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukkan kualitas pelayanan kefarmasian masih di bawah standar dan dipengaruhi oleh kepemilikan apotek, kehadiran, motivasi dan status APA. Penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian belum banyak dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian dan faktor yang mempengaruhinya di apotek di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode survei cross-sectional pada 68 sampel apotek yang dipilih secara acak sistematis dari 214 apotek yang ada di Kota Denpasar. Data dikumpulkan dengan wawancara pada 68 orang APA, pengisian kuesioner oleh pegawai apotek dan observasi untuk mengukur kualitas pelayanan kefarmasian mengacu pada Kepmenkes tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji chi square pada tingkat kemaknaan ≤0,05 dan analisis multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian di bawah rata-rata masih cukup tinggi yaitu 33 apotek (48,5%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian yaitu kehadiran APA, status APA dan kepemilikan apotek. Analisis multivariat menunjukkan bahwa apotek yang dimiliki sendiri secara bermakna meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dengan adjusted OR=7,04 (95%CI: 1,5-33,8).
Simpulan: Kualitas pelayanan kefarmasian berhubungan dengan kepemilikan apotek.
Faktor Predisposisi Kepala Keluarga dengan KTP Bali untuk Mengikuti Program JKN Mandiri Kelas III: Studi Kualitatif di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Utara
Cokorda Istri Mita Pemayun, Pande Putu Januraga, Ni Made Ayu Sri Ratna SudewiOnline First: Jul 1, 2016
- Abstract
Faktor Predisposisi Kepala Keluarga dengan KTP Bali untuk Mengikuti Program JKN Mandiri Kelas III: Studi Kualitatif di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Utara
Latar belakang dan tujuan: Sejak Januari 2010, Pemerintah Provinsi Bali melaksanakan program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat ber-KTP Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan. Di lain pihak, sejak 1 Januari 2014, Pemerintah Pusat menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan sistem iur biaya. Meskipun JKBM masih tersedia hingga tahun 2017, terdapat fenomena masyarakat ber-KTP Bali beralih menjadi peserta JKN mandiri kelas III. Artikel ini mengeksplorasi faktor predisposisi kepala keluarga ber-KTP Bali sehingga beralih menjadi peserta JKN mandiri kelas III dengan fasilitas kesehatan yang relatif sama.
Metode: Wawancara dilakukan kepada partisipan yang dipilih secara purposive melalui exit interview dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam pada 13 orang partisipan peserta JKN mandiri kelas III, tiga orang pimpinan wilayah, tiga orang partisipan peserta JKBM dan satu orang petugas puskesmas. Data dianalisis secara tematik dan disajikan secara narasi.
Hasil: Wawancara menunjukkan partisipan yang beralih ke JKN merasa khawatir dengan sustainabilitas JKBM, kualitas layanan kesehatan dalam program JKBM dan mempersepsikan kerentanan yang tinggi terhadap penyakit dari pengalamannya memanfaatkan program JKBM sebelumnya.
Simpulan: Berdasarkan pertimbangan partisipan untuk beralih kepesertaan menjadi JKN mandiri kelas III, maka dapat direkomendasikan untuk meningkatkan kerjasama antar stakeholder dalam melakukan sosialisasi JKN, terutama melalui pelibatan peserta yang telah terdaftar dan pernah memanfaatkan program JKN.
Hubungan Karakteristik Sosio Demografi dan Dukungan Sosial Suami dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Kelas Ibu Hamil
Ni Ketut Nopi Widiantari, Ni Luh Putu Suariyani, I Nyoman Mangku KarmayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan Karakteristik Sosio Demografi dan Dukungan Sosial Suami dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Kelas Ibu Hamil
Latar belakang dan tujuan: Kelas ibu hamil diterapkan di tiga puskesmas Kota Denpasar untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi dengan metode belajar kelompok tentang kehamilan, persalinan, nifas, perawatan bayi dan lain-lain, namun tingkat kehadiran ibu hamil masih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosio demografi dan dukungan sosial suami dengan partisipasi ibu mengikuti kelas ibu hamil.
Metode: Rancangan penelitian adalah survei cross sectional pada 122 ibu hamil yang dipilih secara systematic random sampling dari buku register ibu hamil. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara di rumah ibu hamil atau pada saat berkunjung ke puskesmas. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan multvariat dengan metode poisson regresi.
Hasil: Partisiasi ibu mengikuti kelas ibu hamil di tiga puskesmas sebesar  29,5%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kehadiran ibu dalam kelas ibu hamil adalah paritas (p=0,036), dukungan sosial yang tinggi dari suami (p=0,001) yang terdiri dari dukungan emosional (p=0,001), dukungan instrumental (p=0,001), dukungan informasi (p=0,001) dan dukungan penghargaan (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa satu-satunya variabel yang berhubungan dengan kehadiran dalam kelas ibu hamil adalah dukungan sosial suami (PR=27,1; 95%CI: 8,13-90,46).
Simpulan: Kehadiran ibu mengikuti kelas ibu hamil di tiga puskesmas masih rendah. Faktor yang mempengaruhi kehadiran ibu hamil adalah dukungan sosial suami.Hubungan Karakteristik Sosio Demografi dan Dukungan Sosial Suami dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Kelas Ibu Hamil
Latar belakang dan tujuan: Kelas ibu hamil diterapkan di tiga puskesmas Kota Denpasar untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi dengan metode belajar kelompok tentang kehamilan, persalinan, nifas, perawatan bayi dan lain-lain, namun tingkat kehadiran ibu hamil masih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosio demografi dan dukungan sosial suami dengan partisipasi ibu mengikuti kelas ibu hamil.
Metode: Rancangan penelitian adalah survei cross sectional pada 122 ibu hamil yang dipilih secara systematic random sampling dari buku register ibu hamil. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara di rumah ibu hamil atau pada saat berkunjung ke puskesmas. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan multvariat dengan metode poisson regresi.
Hasil: Partisiasi ibu mengikuti kelas ibu hamil di tiga puskesmas sebesar  29,5%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kehadiran ibu dalam kelas ibu hamil adalah paritas (p=0,036), dukungan sosial yang tinggi dari suami (p=0,001) yang terdiri dari dukungan emosional (p=0,001), dukungan instrumental (p=0,001), dukungan informasi (p=0,001) dan dukungan penghargaan (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa satu-satunya variabel yang berhubungan dengan kehadiran dalam kelas ibu hamil adalah dukungan sosial suami (PR=27,1; 95%CI: 8,13-90,46).
Simpulan: Kehadiran ibu mengikuti kelas ibu hamil di tiga puskesmas masih rendah. Faktor yang mempengaruhi kehadiran ibu hamil adalah dukungan sosial suami.Hubungan antara Responsiveness Pemberi Layanan dengan Kepuasan Pasien di Tiga Klinik Radiografi Konvensional Kota Denpasar
Cokorda Istri Ariwidyastuti, Pande Putu Januraga, Dyah Pradnyaparamita DuarsaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan antara Responsiveness Pemberi Layanan dengan Kepuasan Pasien di Tiga Klinik Radiografi Konvensional Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Kepuasan pasien merupakan komponen yang penting dalam layanan kesehatan termasuk layanan radiografi. Survei tentang kepuasan pasien telah dilakukan secara rutin terutama di rumah sakit pemerintah, akan tetapi belum pernah dilakukan penelitian yang lebih rinci untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pasien dengan responsiveness (cepat tanggap) penyedia layanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan enam domain responsiveness penyedia layanan dengan kepuasan pasien rawat jalan di tiga penyedia layanan radiografi konvensional di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei dilakukan secara cross sectional pada 158 responden pasien rawat jalan yang dipilih secara consecutive di tiga layanan radiografi konvensional yaitu RS pemerintah, RS swasta dan klinik radiologi swasta. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan modifikasi kuesioner responsiveness dari WHO. Data dianalisis secara univariat, bivariat (uji chi-square) dan multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien di tiga layanan radiografi dijumpai sebesar 69% dan masih di bawah standar pelayanan minimal (>80,0%). Hasil analisis multivariat  menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan secara positif dengan kepuasan pasien adalah domain perhatian (AOR=3,77; 95%CI: 1,62–8,76), kualitas sarana prasarana (AOR=4,57; 95%CI: 1,61–12,93) dan komunikasi (AOR=6,30; 95%CI: 1,75–22,64).
Simpulan: Kepuasan pasien secara umum di layanan radiografi konvensional masih di bawah standar. Domain responsiveness yang berhubungan dengan kepuasan pasien adalah kualitas sarana prasarana, perhatian dan komunikasi oleh penyedia layanan.
Hubungan antara Responsiveness Pemberi Layanan dengan Kepuasan Pasien di Tiga Klinik Radiografi Konvensional Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Kepuasan pasien merupakan komponen yang penting dalam layanan kesehatan termasuk layanan radiografi. Survei tentang kepuasan pasien telah dilakukan secara rutin terutama di rumah sakit pemerintah, akan tetapi belum pernah dilakukan penelitian yang lebih rinci untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pasien dengan responsiveness (cepat tanggap) penyedia layanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan enam domain responsiveness penyedia layanan dengan kepuasan pasien rawat jalan di tiga penyedia layanan radiografi konvensional di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei dilakukan secara cross sectional pada 158 responden pasien rawat jalan yang dipilih secara consecutive di tiga layanan radiografi konvensional yaitu RS pemerintah, RS swasta dan klinik radiologi swasta. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan modifikasi kuesioner responsiveness dari WHO. Data dianalisis secara univariat, bivariat (uji chi-square) dan multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien di tiga layanan radiografi dijumpai sebesar 69% dan masih di bawah standar pelayanan minimal (>80,0%). Hasil analisis multivariat  menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan secara positif dengan kepuasan pasien adalah domain perhatian (AOR=3,77; 95%CI: 1,62–8,76), kualitas sarana prasarana (AOR=4,57; 95%CI: 1,61–12,93) dan komunikasi (AOR=6,30; 95%CI: 1,75–22,64).
Simpulan: Kepuasan pasien secara umum di layanan radiografi konvensional masih di bawah standar. Domain responsiveness yang berhubungan dengan kepuasan pasien adalah kualitas sarana prasarana, perhatian dan komunikasi oleh penyedia layanan.
Faktor Risiko Sepsis Neonatorum di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Kurniasih Widayati, Desak Putu Yuli Kurniati, Gusti Ayu Trisna WindianiOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Faktor Risiko Sepsis Neonatorum di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Angka Kematian Bayi (AKB) secara nasional tahun 2012 sebesar 32/1000 KH dan untuk Provinsi Bali sebesar 29/1000 KH. Angka ini masih lebih tinggi dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 23/1000 KH. Salah satu dari banyak faktor yang meningkatkan risiko kematian bayi adalah sepsis neonatorum. Penelitian tentang sepsis neonatorum pernah dilakukan di RSUP Sanglah namun hanya penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor sosiodemografi, klinis, lingkungan dan tindakan invasif yang berhubungan dengan sepsis neonatorum di RSUP Sanglah.
Metode: Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 30 kasus (pasien yang didiagnosa sepsis neonatorum) dan 30 kontrol (pasien bukan sepsis neonatorum) dipilih secara acak dan matching berdasarkan bulan kelahiran bayi dari buku register 1 Januari-31 Desember 2014 di ruang perinatologi RSUP Sanglah. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien dengan formulir ekstraksi data. Analisis secara bivariat untuk mengetahui crude OR dan multivariat dengan metode regresi logistik untuk mengetahui adjusted OR.
Hasil: Analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor yang meningkatkan risiko sepsis neonatorum adalah ibu yang tidak bekerja dan bekerja sebagai buruh dengan OR=3,5 (95%CI: 1,1-11,7), bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan OR=6,6 (95%CI: 1,9-24,2), perawatan bayi dalam inkubator dengan OR=4,1 (95%CI: 1,2-14,3), pemberian infus dengan OR=9,3 (95%CI: 1,7-92,1) dan pemberian oksigen dengan OR=7,0 (95%CI: 1,9-29,7). Analisis multivariat menunjukkan bahwa satu-satunya variabel yang bermakna meningkatkan risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan OR=20,2 (95%CI: 1,4-289,7).
Simpulan: BBLR merupakan faktor risiko sepsis neonatorum di ruang perinatologi RSUP Sanglah Denpasar.
Faktor Risiko Sepsis Neonatorum di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Angka Kematian Bayi (AKB) secara nasional tahun 2012 sebesar 32/1000 KH dan untuk Provinsi Bali sebesar 29/1000 KH. Angka ini masih lebih tinggi dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 23/1000 KH. Salah satu dari banyak faktor yang meningkatkan risiko kematian bayi adalah sepsis neonatorum. Penelitian tentang sepsis neonatorum pernah dilakukan di RSUP Sanglah namun hanya penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor sosiodemografi, klinis, lingkungan dan tindakan invasif yang berhubungan dengan sepsis neonatorum di RSUP Sanglah.
Metode: Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 30 kasus (pasien yang didiagnosa sepsis neonatorum) dan 30 kontrol (pasien bukan sepsis neonatorum) dipilih secara acak dan matching berdasarkan bulan kelahiran bayi dari buku register 1 Januari-31 Desember 2014 di ruang perinatologi RSUP Sanglah. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien dengan formulir ekstraksi data. Analisis secara bivariat untuk mengetahui crude OR dan multivariat dengan metode regresi logistik untuk mengetahui adjusted OR.
Hasil: Analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor yang meningkatkan risiko sepsis neonatorum adalah ibu yang tidak bekerja dan bekerja sebagai buruh dengan OR=3,5 (95%CI: 1,1-11,7), bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan OR=6,6 (95%CI: 1,9-24,2), perawatan bayi dalam inkubator dengan OR=4,1 (95%CI: 1,2-14,3), pemberian infus dengan OR=9,3 (95%CI: 1,7-92,1) dan pemberian oksigen dengan OR=7,0 (95%CI: 1,9-29,7). Analisis multivariat menunjukkan bahwa satu-satunya variabel yang bermakna meningkatkan risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan OR=20,2 (95%CI: 1,4-289,7).
Simpulan: BBLR merupakan faktor risiko sepsis neonatorum di ruang perinatologi RSUP Sanglah Denpasar.
Hubungan Penggunaan Pestisida dan Alat Pelindung Diri dengan Keluhan Kesehatan pada Petani Hortikultura di Buleleng, Bali
Ida Ayu Dwi Astuti Minaka, Anak Agung Sagung Sawitri, Dewa Nyoman WirawanOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan Penggunaan Pestisida dan Alat Pelindung Diri dengan Keluhan Kesehatan pada Petani Hortikultura di Buleleng, Bali
Latar belakang dan tujuan: Penggunaan pestisida highly toxic banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Petani Desa Pancasari di Bali merupakan pengguna pestisida aktif, sehingga ada potensi keracunan pestisida. Saat ini belum banyak diketahui perilaku penggunaan pestisida serta alat pelindung diri (APD) dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani di wilayah tersebut.
Metode: Survei cross sectional dilakukan pada 87 petani hortikultura. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Data dianalisis secara bivariat dengan chi square test dan multivariat dengan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara keluhan kesehatan spesifik terkait pestisida (sakit kepala, gatal-gatal, kelelahan meningkat dan mual) dengan karakteristik sosiodemografi, pengetahuan dan perilaku penggunaan pestisida serta penggunaan APD.
Hasil: Mayoritas petani berumur ≥ 30 tahun (94,3%), laki-laki (81,6%) dengan pendidikan menengah kebawah (78,2%). Sebanyak 54,1% petani memiliki pengetahuan cukup baik tentang pestisida dan APD, namun perilakunya masih buruk. Sebanyak 60,9% petani memiliki keluhan kesehatan spesifik. Keluhan kesehatan dijumpai berhubungan dengan penggunaan pestisida golongan organophosfat (AOR=3,74; 95%CI: 1,33-10,48), lama hari pemakaian baju kerja sebelum dicuci (AOR=1,37; 95%CI: 1,08-1,75), tidak menggunakan baju panjang pada saat pencampuran (AOR=0,25; 95%CI: 0,09-0,76) dan tidak memakai masker pada saat penyemprotan (AOR=0,18; 95%CI: 0,05-0,69).
Simpulan: Keluhan kesehatan spesifik pada petani berhubungan dengan penggunaan pestisida golongan organophosfat, perilaku pemakaian baju kerja dan penggunaan APD yang tidak tepat.
Hubungan Penggunaan Pestisida dan Alat Pelindung Diri dengan Keluhan Kesehatan pada Petani Hortikultura di Buleleng, Bali
Latar belakang dan tujuan: Penggunaan pestisida highly toxic banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Petani Desa Pancasari di Bali merupakan pengguna pestisida aktif, sehingga ada potensi keracunan pestisida. Saat ini belum banyak diketahui perilaku penggunaan pestisida serta alat pelindung diri (APD) dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani di wilayah tersebut.
Metode: Survei cross sectional dilakukan pada 87 petani hortikultura. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Data dianalisis secara bivariat dengan chi square test dan multivariat dengan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara keluhan kesehatan spesifik terkait pestisida (sakit kepala, gatal-gatal, kelelahan meningkat dan mual) dengan karakteristik sosiodemografi, pengetahuan dan perilaku penggunaan pestisida serta penggunaan APD.
Hasil: Mayoritas petani berumur ≥ 30 tahun (94,3%), laki-laki (81,6%) dengan pendidikan menengah kebawah (78,2%). Sebanyak 54,1% petani memiliki pengetahuan cukup baik tentang pestisida dan APD, namun perilakunya masih buruk. Sebanyak 60,9% petani memiliki keluhan kesehatan spesifik. Keluhan kesehatan dijumpai berhubungan dengan penggunaan pestisida golongan organophosfat (AOR=3,74; 95%CI: 1,33-10,48), lama hari pemakaian baju kerja sebelum dicuci (AOR=1,37; 95%CI: 1,08-1,75), tidak menggunakan baju panjang pada saat pencampuran (AOR=0,25; 95%CI: 0,09-0,76) dan tidak memakai masker pada saat penyemprotan (AOR=0,18; 95%CI: 0,05-0,69).
Simpulan: Keluhan kesehatan spesifik pada petani berhubungan dengan penggunaan pestisida golongan organophosfat, perilaku pemakaian baju kerja dan penggunaan APD yang tidak tepat.
Penerimaan Pelayanan Alat Kontrasepsi dalam Rahim Pasca Plasenta di Kota Denpasar
Ni Made Rai Widiastuti, Ni Luh Putu Suariyani, I Nyoman Mangku KarmayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Penerimaan Pelayanan Alat Kontrasepsi dalam Rahim Pasca Plasenta di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi pemakaian kontrasepsi di Provinsi Bali mengalami penurunan dibandingkan Tahun 2007. Selain itu proporsi pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) juga terus menurun. Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan akseptor AKDR adalah meningkatkan promosi pemakaian AKDR pasca plasenta, namun penerimaannya masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei cross sectional dilakukan pada ibu pasca persalinan dengan jumlah sebanyak 100 ibu dan dipilih secara consecutive sampling yang melahirkan sejak Januari-Februari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya, Puskesmas Pembantu Dauh Puri, Puskesmas I Denpasar Timur dan Puskesmas IV Denpasar Selatan. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner di tempat ibu melahirkan. Analisis data dilakukan secara bivariat (dengan chi square test) dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan proporsi penerimaan pemakaian AKDR pasca plasenta sebesar 35% dari semua ibu yang diberikan konseling tentang pemakaian AKDR pasca plasenta. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa penerimaan AKDR pasca plasenta berhubungan dengan persepsi manfaat AKDR (AOR=10,39; 95%CI: 2,792-38,56), persepsi efek samping yang rendah (AOR=5,288; 95%CI: 1,085-25,761), peran petugas kesehatan (AOR=7,1; 95%CI: 1,781-28,60), dan dukungan suami (AOR=12,020; 95%CI: 2,888-50,01).
Simpulan: Variabel persepsi efek samping yang rendah, persepsi manfaat terhadap AKDR, peran petugas kesehatan dan dukungan suami berhubungan dengan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.Penerimaan Pelayanan Alat Kontrasepsi dalam Rahim Pasca Plasenta di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi pemakaian kontrasepsi di Provinsi Bali mengalami penurunan dibandingkan Tahun 2007. Selain itu proporsi pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) juga terus menurun. Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan akseptor AKDR adalah meningkatkan promosi pemakaian AKDR pasca plasenta, namun penerimaannya masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penerimaan pelayanan kontrasepsi AKDR pasca plasenta di Kota Denpasar.
Metode: Penelitian survei cross sectional dilakukan pada ibu pasca persalinan dengan jumlah sebanyak 100 ibu dan dipilih secara consecutive sampling yang melahirkan sejak Januari-Februari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya, Puskesmas Pembantu Dauh Puri, Puskesmas I Denpasar Timur dan Puskesmas IV Denpasar Selatan. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner di tempat ibu melahirkan. Analisis data dilakukan secara bivariat (dengan chi square test) dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan proporsi penerimaan pemakaian AKDR pasca plasenta sebesar 35% dari semua ibu yang diberikan konseling tentang pemakaian AKDR pasca plasenta. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa penerimaan AKDR pasca plasenta berhubungan dengan persepsi manfaat AKDR (AOR=10,39; 95%CI: 2,792-38,56), persepsi efek samping yang rendah (AOR=5,288; 95%CI: 1,085-25,761), peran petugas kesehatan (AOR=7,1; 95%CI: 1,781-28,60), dan dukungan suami (AOR=12,020; 95%CI: 2,888-50,01).
Simpulan: Variabel persepsi efek samping yang rendah, persepsi manfaat terhadap AKDR, peran petugas kesehatan dan dukungan suami berhubungan dengan penerimaan kontrasepsi AKDR pasca plasenta.Hubungan Kepemimpinan, Motivasi dan Kompensasi dengan Kepuasan Kerja Pegawai Puskesmas di Kota Denpasar
Made Karma Maha Wirajaya, Ni Made Sri Nopiyani, I Putu Ganda WijayaOnline First: Jul 1, 2016
- Untitled
- Abstract
- Abstract
Hubungan Kepemimpinan, Motivasi dan Kompensasi dengan Kepuasan Kerja Pegawai Puskesmas di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja pegawai dalam bekerja sehingga mampu menciptakan suatu keadaan positif di lingkungan organisasi. Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa kepemimpinan, motivasi dan kompensasi berhubungan dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas namun belum dapat menjelaskan hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi secara bersama sama dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas di Kota Denpasar.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah survei cross sectional pada semua pegawai puskesmas yakni sebanyak 39 pegawai di Puskesmas II Denpasar Selatan dan 36 pegawai di Puskesmas III Denpasar Utara. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi logistik untuk melihat hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas.
Hasil: Pegawai puskesmas yang mempersepsikan kepemimpinan kepala puskesmas kurang baik sebanyak 52,00%, pegawai puskesmas yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja hanya 56,00%, pegawai puskesmas yang mempersepsikan kompensasi yang diterima memadai 60,00% dan pegawai yang merasa puas dalam bekerja hanya 52%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan dengan OR=7,28 (95%CI: 2,17-24,46) dan motivasi dengan OR=4,31 (95%CI: 1,29- 14,39) berhubungan positif dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas.
Simpulan: Kepemimpinan dan motivasi berhubungan bermakna dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas. Aspek perilaku pemimpin dalam memotivasi pegawai dan motivasi ekstrinsik terutama pada kondisi kerja masih perlu ditingkatkan untuk menciptakan kepuasan kerja pegawai.
Hubungan Kepemimpinan, Motivasi dan Kompensasi dengan Kepuasan Kerja Pegawai Puskesmas di Kota Denpasar
Latar belakang dan tujuan: Kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja pegawai dalam bekerja sehingga mampu menciptakan suatu keadaan positif di lingkungan organisasi. Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa kepemimpinan, motivasi dan kompensasi berhubungan dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas namun belum dapat menjelaskan hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi secara bersama sama dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas di Kota Denpasar.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah survei cross sectional pada semua pegawai puskesmas yakni sebanyak 39 pegawai di Puskesmas II Denpasar Selatan dan 36 pegawai di Puskesmas III Denpasar Utara. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi logistik untuk melihat hubungan kepemimpinan, motivasi dan kompensasi dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas.
Hasil: Pegawai puskesmas yang mempersepsikan kepemimpinan kepala puskesmas kurang baik sebanyak 52,00%, pegawai puskesmas yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja hanya 56,00%, pegawai puskesmas yang mempersepsikan kompensasi yang diterima memadai 60,00% dan pegawai yang merasa puas dalam bekerja hanya 52%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan dengan OR=7,28 (95%CI: 2,17-24,46) dan motivasi dengan OR=4,31 (95%CI: 1,29- 14,39) berhubungan positif dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas.
Simpulan: Kepemimpinan dan motivasi berhubungan bermakna dengan kepuasan kerja pegawai puskesmas. Aspek perilaku pemimpin dalam memotivasi pegawai dan motivasi ekstrinsik terutama pada kondisi kerja masih perlu ditingkatkan untuk menciptakan kepuasan kerja pegawai.